Twenty-Four Eyes

Twenty-Four Eyes

Novel Twenty-Four Eyes (Nijūshi no Hitomi) karya Sakae Tsuboi merupakan salah satu karya sastra Jepang yang mendapat banyak apresiasi, terutama di Jepang. Karena kemampuannya menangkap kehidupan dan nilai-nilai sosial Jepang pada masa sebelum, saat, dan setelah Perang Dunia II. Diterbitkan pada tahun 1952, novel ini bercerita tentang kehidupan seorang guru perempuan bernama Oishi dan dua belas muridnya di sebuah desa kecil di Pulau Shodoshima. Melalui perspektif guru ini, pembaca diajak melihat bagaimana perang mempengaruhi kehidupan masyarakat pedesaan, termasuk keluarga-keluarga yang harus berkorban untuk perang. Novel ini menawarkan pandangan mendalam tentang kemanusiaan, kesedihan, dan kekuatan hubungan antar manusia di tengah situasi sulit.

Twenty-Four Eyes tidak hanya terkenal di Jepang. Tetapi juga menjadi bagian penting dari kesusastraan dunia karena tema-temanya yang universal dan relevan. Kisahnya yang mengharukan dan gaya penulisan Tsuboi yang penuh emosi mampu menggugah para pembaca. Membuatnya bertahan sebagai karya yang berharga hingga saat ini. Selain novel, kisah ini juga diadaptasi menjadi film pada tahun 1954 dan 1987. Yang semakin memperkuat posisinya dalam budaya populer Jepang.

Promo katalog Tip Top yang menarik: https://joindeepdive.com/

Gaya Penulisan

Sakae Tsuboi menggunakan gaya penulisan yang sederhana namun puitis dalam Twenty-Four Eyes. Gaya penulisannya membumi, dengan dialog dan narasi yang realistis dan menggambarkan kehidupan sehari-hari masyarakat Jepang dengan jelas. Tsuboi menggambarkan setiap detail dengan teliti, baik suasana pedesaan, interaksi antar karakter, hingga emosi yang mereka rasakan. Puitisnya gaya penulisan ini dapat ditemukan dalam deskripsi lanskap alam yang mengelilingi desa tempat cerita berlangsung. Yang memberikan kesan keindahan sekaligus kesederhanaan hidup di pedesaan Jepang.

Penggunaan bahasa sederhana namun penuh makna ini memungkinkan pembaca untuk terhubung dengan cerita dan karakter-karakternya dengan mudah. Selain itu, Tsuboi juga memberikan perhatian khusus pada emosi dan pikiran para karakter. Terutama pada karakter utama, Oishi, sehingga pembaca dapat merasakan konflik batin dan pergulatan emosi yang ia alami. Dalam beberapa bagian, Tsuboi menyisipkan kritik sosial dan kemanusiaan yang mendalam terhadap perang, kemiskinan, dan peran gender melalui perspektif Oishi. Yang membawa beban berat sebagai seorang guru dan sebagai seorang perempuan di masa yang penuh gejolak.

Mendengar sountrack film Indonesia: https://www.rosesareredmusic.com/

Latar Belakang atau Setting

Latar belakang novel ini adalah sebuah desa kecil di Pulau Shodoshima, Jepang, yang terletak di Laut Pedalaman Seto, Jepang. Desa ini digambarkan sebagai daerah yang tenang, jauh dari hiruk-pikuk kota besar. Dengan pemandangan alam yang indah dan masyarakat yang sederhana. Namun, di balik keindahan alamnya, penduduk desa harus berjuang untuk mempertahankan hidup mereka di tengah kondisi sosial dan ekonomi yang sulit. Sebagian besar penduduk desa bekerja sebagai petani dan nelayan, yang membuat mereka sangat bergantung pada kondisi alam.

Novel ini mengisahkan perjalanan waktu yang cukup panjang, dimulai dari tahun 1928 hingga setelah Perang Dunia II. Melalui latar waktu ini, Tsuboi menunjukkan perubahan sosial dan dampak perang terhadap kehidupan masyarakat Jepang, khususnya di daerah pedesaan. Kehidupan para karakter utama mengalami perubahan besar seiring dengan perkembangan zaman. Yang membuat setting waktu menjadi elemen penting dalam membangun cerita dan suasana novel ini.

Game online yang seru: https://quickcncmachine.com/

Tema

Tema utama dalam Twenty-Four Eyes adalah dampak perang terhadap kehidupan manusia, khususnya di daerah pedesaan Jepang. Perang digambarkan sebagai kekuatan yang merusak, memisahkan keluarga, menghancurkan masa depan, dan meninggalkan luka yang mendalam. Bagi orang-orang yang terlibat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Melalui karakter Oishi, pembaca diajak untuk melihat bagaimana perang merampas kehidupan yang damai dan memaksakan penderitaan. Yang tidak perlu pada orang-orang biasa yang tidak terlibat dalam konflik politik.

Selain tema perang, novel ini juga menyentuh tema-tema kemanusiaan lainnya, seperti persahabatan, pengorbanan, dan kasih sayang. Hubungan antara Oishi dan para muridnya mencerminkan nilai-nilai persahabatan dan kesetiaan yang kuat. Oishi berusaha menjadi sosok yang peduli dan memahami kebutuhan emosional murid-muridnya, yang membuatnya menjadi figur ibu sekaligus guru bagi mereka. Tema lainnya adalah perjuangan perempuan dalam masyarakat yang patriarkal. Sebagai seorang perempuan dan guru di masa itu, Oishi harus menghadapi banyak rintangan dan diskriminasi. Baik dari segi peran gender maupun tuntutan sosial yang membatasi kebebasannya.

Mengikuti berita seputar sepakbola Serie A: https://www.graingertn.com/

Karakter

Oishi Sensei adalah karakter utama dalam novel ini. Ia adalah seorang guru yang berdedikasi dan memiliki kasih sayang mendalam terhadap murid-muridnya. Sebagai sosok yang lembut dan penyayang, ia selalu berusaha untuk memahami dan membantu murid-muridnya. Meskipun ia sendiri mengalami kesulitan dan penderitaan dalam hidupnya. Sepanjang cerita, pembaca dapat merasakan rasa peduli dan kasih sayang yang tulus dari Oishi terhadap para muridnya. Yang membuatnya menjadi figur yang dihormati dan dicintai. Oishi juga digambarkan sebagai sosok yang kritis terhadap perang dan ketidakadilan yang terjadi di masyarakat. Meskipun ia tidak selalu dapat mengungkapkan pendapatnya secara terbuka.

Selain Oishi, karakter-karakter penting lainnya adalah dua belas muridnya yang juga memainkan peran penting dalam novel ini. Masing-masing murid memiliki latar belakang dan karakteristik unik, yang mencerminkan keragaman kehidupan di pedesaan Jepang. Para murid ini tumbuh menjadi dewasa, menikah, dan memiliki anak. Namun mereka juga harus menghadapi dampak perang, kehilangan anggota keluarga, dan mengalami penderitaan yang disebabkan oleh konflik. Kehidupan mereka menjadi cerminan dari dampak perang terhadap masyarakat biasa yang tidak terlibat dalam politik.

Info seputar game PUBGM: https://glittermobmag.com/

Alur Cerita

Alur cerita Twenty-Four Eyes bergerak maju mengikuti perjalanan hidup Oishi dan para muridnya dari masa kanak-kanak hingga dewasa. Cerita dimulai pada tahun 1928, saat Oishi pertama kali mengajar di sekolah dasar di desa kecil di Shodoshima. Oishi menghadapi berbagai tantangan sebagai guru baru, terutama karena pandangan konservatif masyarakat yang memandang perempuan kurang layak untuk menjadi pemimpin di dunia pendidikan.

Cerita kemudian berlanjut dengan menggambarkan kehidupan sehari-hari para murid yang penuh keceriaan dan kebersamaan. Namun, seiring berjalannya waktu, mulai terlihat bayang-bayang perang yang mendekati kehidupan mereka. Ketika Perang Dunia II pecah, desa dan penduduknya mengalami perubahan besar. Para murid yang telah tumbuh dewasa harus berpisah dari keluarga, berjuang sebagai tentara, atau bekerja di pabrik-pabrik yang mendukung upaya perang. Kehilangan dan kesedihan pun menjadi bagian dari kehidupan mereka, dan Oishi sebagai guru mereka. Merasakan rasa sakit dan ketidakberdayaan ketika melihat murid-muridnya menderita.

Cerita ini berpuncak pada masa setelah perang, ketika desa tersebut kembali berubah. Beberapa murid Oishi tidak pernah kembali, sementara yang lainnya kembali dalam keadaan terluka, baik fisik maupun emosional. Pada titik ini, Oishi merasa terpukul, tetapi ia tetap berusaha menjadi sosok yang kuat dan mendukung bagi mereka yang tersisa. Alur cerita yang memilukan ini menggambarkan perjalanan hidup yang penuh lika-liku, dengan penggambaran perang sebagai bayangan kelam yang selalu mengintai.

Ingin mendapatkan peluang sukses: https://neocom-express.com/

Pesan yang Ingin Disampaikan

Melalui Twenty-Four Eyes, Sakae Tsuboi ingin menyampaikan pesan damai dan anti-perang. Novel ini mengajarkan betapa besar dampak perang terhadap kehidupan manusia. Terutama bagi masyarakat biasa yang harus kehilangan orang-orang terdekat mereka demi kepentingan politik yang tidak mereka pahami. Novel ini juga menunjukkan bahwa perang tidak hanya merusak fisik, tetapi juga mental dan emosional, meninggalkan luka yang sulit disembuhkan.

Selain itu, novel ini menyampaikan pentingnya pendidikan dan hubungan manusia yang hangat. Sosok Oishi sebagai guru yang penuh kasih sayang memberikan pelajaran tentang pentingnya memahami dan mendukung orang lain. Serta bagaimana seorang guru dapat memberikan pengaruh positif yang besar dalam kehidupan murid-muridnya. Hubungan antara Oishi dan murid-muridnya menjadi simbol kekuatan cinta dan kebersamaan yang mampu menghadapi berbagai tantangan hidup.

Lirik anime populer: https://michelleraysmith.com/

Secara keseluruhan, Twenty-Four Eyes adalah sebuah karya yang menggugah emosi dan penuh makna. Melalui cerita yang sederhana namun mendalam, Sakae Tsuboi berhasil menggambarkan kepedihan akibat perang, kekuatan persahabatan, dan pentingnya pendidikan yang berbasis pada kasih sayang. Novel ini mengajarkan bahwa, dalam situasi yang paling sulit sekalipun, kemanusiaan dan hubungan antar manusia tetap menjadi sumber kekuatan yang tak ternilai.

Berikut merupakan ulasan novel karya Sakae Tsuboi yang berjudul “Twenty-Four Eyes”. Jika ingin mengupas novel-novel berikutnya, silahkan mampir ke Dokokyo. Ketinggalan ulasan novel-novel sebelumnya, silahkan klik link di bawah ini: